Pada umur 26 tahun, pada tahun 1933, Affandi menikah dengan Maryati, gadis kelahiran Bogor. Affandi dan Maryati dikaruniai seorang putri yang nantinya akan mewarisi bakat ayahnya sebagai pelukis, yaitu Kartika Affandi.
Sebelum mulai melukis, Affandi pernah
menjadi guru dan pernah juga bekerja sebagai tukang sobek karcis dan
pembuat gambar reklame bioskop di salah satu gedung bioskop di Bandung.
Pekerjaan ini tidak lama digeluti karena Affandi lebih tertarik pada
bidang seni lukis. Sekitar tahun 30-an, Affandi bergabung dalam kelompok
Lima Bandung, yaitu kelompok lima pelukis Bandung. Mereka itu adalah Hendra Gunawan, Barli, Sudarso, dan Wahdi
serta Affandi yang dipercaya menjabat sebagai pimpinan kelompok.
Kelompok ini memiliki andil yang cukup besar dalam perkembangan seni
rupa di Indonesia. Kelompok ini berbeda dengan Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) pada tahun 1938, melainkan sebuah kelompok belajar bersama dan kerja sama saling membantu sesama pelukis.
Pada tahun 1943,
Affandi mengadakan pameran tunggal pertamanya di Gedung Poetera
Djakarta yang saat itu sedang berlangsung pendudukan tentara Jepang di
Indonesia. Empat Serangkai–yang terdiri dari Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kyai Haji Mas Mansyur–memimpin
Seksi Kebudayaan Poetera (Poesat Tenaga Rakyat) untuk ikut ambil
bagian. Dalam Seksi Kebudayaan Poetera ini Affandi bertindak sebagai
tenaga pelaksana dan S. Soedjojono sebagai penanggung jawab, yang langsung mengadakan hubungan dengan Bung Karno.
Ketika republik ini diproklamasikan 1945,
banyak pelukis ambil bagian. Gerbong-gerbong kereta dan tembok-tembok
ditulisi antara lain “Merdeka atau mati!”. Kata-kata itu diambil dari
penutup pidato Bung Karno, Lahirnya Pancasila, 1 Juni
1945. Saat itulah, Affandi mendapat tugas membuat poster. Poster itu
idenya dari Bung Karno, gambar orang yang dirantai tapi rantai itu sudah
putus. Yang dijadikan model adalah pelukis Dullah. Lalu kata-kata apa yang harus ditulis di poster itu? Kebetulan muncul penyair Chairil Anwar. Soedjojono
menanyakan kepada Chairil, maka dengan enteng Chairil ngomong: “Bung,
ayo Bung!” Dan selesailah poster bersejarah itu. Sekelompok pelukis
siang-malam memperbanyaknya dan dikirim ke daerah-daerah. Dari manakah
Chairil memungut kata-kata itu? Ternyata kata-kata itu biasa diucapkan
pelacur-pelacur di Jakarta yang menawarkan dagangannya pada zaman itu.
Bakat melukis yang menonjol pada diri
Affandi pernah menorehkan cerita menarik dalam kehidupannya. Suatu saat,
dia pernah mendapat beasiswa untuk kuliah melukis di Santiniketan, India, suatu akademi yang didirikan oleh Rabindranath Tagore.
Ketika telah tiba di India, dia ditolak dengan alasan bahwa dia
dipandang sudah tidak memerlukan pendidikan melukis lagi. Akhirnya biaya
beasiswa yang telah diterimanya digunakan untuk mengadakan pameran
keliling negeri India.
Sepulang dari India, Eropa, pada tahun lima puluhan, Affandi dicalonkan oleh PKI untuk mewakili orang-orang tak berpartai dalam pemilihan Konstituante. Dan terpilihlah dia, seperti Prof. Ir. Saloekoe Poerbodiningrat
dsb, untuk mewakili orang-orang tak berpartai. Dalam sidang
konstituante, menurut Basuki Resobowo yang teman pelukis juga, biasanya
katanya Affandi cuma diam, kadang-kadang tidur. Tapi ketika sidang
komisi, Affandi angkat bicara. Dia masuk komisi Perikemanusiaan (mungkin
sekarang HAM) yang dipimpin Wikana, teman dekat Affandi juga sejak
sebelum revolusi.
Lalu apa topik yang diangkat Affandi?
“Kita bicara tentang perikemanusiaan, lalu bagaimana tentang
perikebinatangan?” demikianlah dia memulai orasinya. Tentu saja yang
mendengar semua tertawa ger-geran. Affandi bukan orang humanis biasa.
Pelukis yang suka pakai sarung, juga ketika dipanggil ke istana semasa
Suharto masih berkuasa dulu, intuisinya sangat tajam. Meskipun hidup di
zaman teknologi yang sering diidentikkan zaman modern itu, dia masih
sangat dekat dengan fauna, flora dan alam semesta ini. Ketika Affandi
mempersoalkan ‘Perikebinatangan’ tahun 1955, kesadaran masyarakat
terhadap lingkungan hidup masih sangat rendah.
Affandi juga termasuk pimpinan pusat Lekra
(Lembaga Kebudayaan Rakyat), organisasi kebudayaan terbesar yang
dibubarkan oleh rezim Suharto. Dia bagian seni rupa Lembaga Seni Rupa)
bersama Basuki Resobowo, Henk Ngantung, dan sebagainya.
Pada tahun enampuluhan, gerakan anti imperialis AS sedang mengagresi Vietnam
cukup gencar. Juga anti kebudayaan AS yang disebut sebagai ‘kebudayaan
imperialis’. Film-film Amerika, diboikot di negeri ini. Waktu itu
Affandi mendapat undangan untuk pameran di gedung USIS Jakarta. Dan
Affandi pun, pameran di sana.
Ketika sekelompok pelukis Lekra
berkumpul, ada yang mempersoalkan. Mengapa Affandi yang pimpinan Lekra
kok pameran di tempat perwakilan agresor itu. Menanggapi persoalan ini,
ada yang nyeletuk: “Pak Affandi memang pimpinan Lekra, tapi dia tak bisa
membedakan antara Lekra dengan Lepra!” kata teman itu dengan kalem.
Karuan saja semua tertawa.
Meski sudah melanglangbuana ke berbagai
negara, Affandi dikenal sebagai sosok yang sederhana dan suka merendah.
Pelukis yang kesukaannya makan nasi dengan tempe bakar ini mempunyai
idola yang terbilang tak lazim. Orang-orang lain bila memilih wayang
untuk idola, biasanya memilih yang bagus, ganteng, gagah, bijak,
seperti; Arjuna, Gatutkaca, Bima atau Werkudara, Kresna.
Namun, Affandi memilih Sokasrana yang
wajahnya jelek namun sangat sakti. Tokoh wayang itu menurutnya merupakan
perwakilan dari dirinya yang jauh dari wajah yang tampan. Meskipun
begitu, Departemen Pariwisata Pos dan Telekomunikasi (Deparpostel)
mengabadikan wajahnya dengan menerbitkan prangko baru seri tokoh
seni/artis Indonesia. Menurut Helfy Dirix (cucu tertua Affandi) gambar
yang digunakan untuk perangko itu adalah lukisan self-portrait
Affandi tahun 1974, saat Affandi masih begitu getol dan produktif
melukis di museum sekaligus kediamannya di tepi Kali Gajahwong
Yogyakarta.
Sumber : Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar